26 Januari 2009

BIROKRASI

POTRET BIROKRASI INDONESIA DI DAERAH

1. Problem Birokrasi di Daerah

Semenjak masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan kinerja birokrasi dituduhkan oleh banyak pihak sebagai musabab keterpurukan bangsa ini. System kerja aparatur selama ini banyak dipengaruhi oleh model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Weber, Taylor, Wilson dan Urwick, yaitu (1) Struktur, (2) hierarki, (3) otoritas, (4) dikotomi kebijakan administrasi rantai pemerintah, (5) sentralisasi. (sinambela,dkk,2006:35)

Menurut Islamy (1998:7), ada pelbagai faktor penyebab birokrasi public mengalami organizational slack,antara lain: orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure), tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Dwiyanto,dkk (2006 :19) menyebutkan, bahwa pemerintah masih menjalankan praktek pemerintahan secara inefisien, belum berkeadilan dan tidak bersikap responsif terhadap kebutuhan masyarakat serta KKN masih berlangsung.

Celakanya lagi, pemerintah pusat selalu membuat ‘kejutan-kejutan’ yang bersifat controversial di masyarakat khususnya di Daerah. Misalnya, PP no.41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang intinya adalah ingin mengatur daerah tentang besaran perangkat daerah. Padahal, sebagaimana kita ketahui bahwa setiap daerah berbeda budaya, geografis, jumlah penduduk, dll.

Adanya desentralisasi menjadi sebuah harapan bagi masyarakat akan adanya perbaikan system birokrasi. Tapi pada kenyataannya, pemerintah daerah belum mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan masyarakat. Bahkan Beberapa masalah birokrasi (pelayanan public) yang menjadi kelemahan di daerah antara lain (Mohamad, 2003):

  1. Jumlah PNS terlalu banyak

Menurut Rohdewohld dalam Purbokusumo, dkk (2006 :30) di Indonesia terjadi lonjakan pegawai sangat luar biasa. Sebelum tahun 1950 jumlah pegawai hanya 50.000 orang, tahun 1950 jumlahnya 303.500 orang (naik 507%), thn 1960 jumlahnya 393.000 orang (naik 29%), tahun 1970 jumlahnya 515.000 orang (naik 31%), tahun 1980 jumlahnya 2.047.000 (naik 297,5%), tahun 1993 jumlahnya menjadi 4.009.000 (naik 95,8%).

Sebuah penelitian dilakukan di Daerah Sumatera Utara pada kebutuhan pegawai negeri menunjukkan bahwa kebutuhan riil pegawai (rata-rata) 20,55% dari 1.384 pegawai. Artinya, dari 1384 orang pegawai yang dimilikinya sekarang, untuk mengerjakan beban kerja yang ada dengan cara seperti sekarang, hanya diperlukan 282 pegawai (www.mediaindonesia.com).

  1. Struktur Organisasi/Unit teknis birokrasi yang terlalu besar alias gemuk

Lahirnya PP no.41/2007 diinterpretasikan oleh sebagian besar pemerintah daerah bahwa mereka bebas membentuk struktur organisasi (Badan,Dinas,kantor) sesuai yang mereka inginkan. Struktur yang besar sering mengakibatkan masyarakat harus mendatangi banyak kotak birokrasi yang masing-masing memiliki kompleksitas yang berbeda. Hal ini akan mendorong terjadinya KKN dalam pemberian pelayanan. Selain itu, tekanan politik dari anggota DPRD dan juga ke inginan Gubernur/Walikota/Bupati untuk membalas jasa pendukungnya dengan cara mendudukan orang-orang tersebut dalam posisi kepala dinas.

  1. Tidak professional dalam bekerja

Hal ini terjadi karena sistem penempatan pegawai tidak berdasarkan kemampuan yang dimiliki. penempatan tidak berdasarkan sistem merit tapi lebih kepada sistem patronase. Contah : Sarjana pertanian ditempatkan sebagai bendahara/pemegang kas.

  1. Kurang responsive terhadap kebutuhan masyarakat

Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa lebih dari 50% pengguna jasa pelayanan mengeluhkan layanan birokrasi berkenaan dengan pelayanan yang mereka terima (Dwiyanto, dkk:2006)

  1. Kurang koordinasi dan inaccessible

Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. selain itu, unit-unit pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat sehingga masyarakat kesulitan dalam memperoleh pelayanan serta sulitnya masyarakat dalam memperoleh akses informasi.

  1. Inefisien

Adanya ketidaksesuaian antara input pelayanan (biaya,waktu) dengan output pelayanan (kualitas) yang diberikan (Dwiyanto,dkk:2006:76). System Birokrasi yang inefisien masih ditemui di daerah. Akibatnya masyarakat dirugikan baik segi waktu maupun biaya. Pengurusan perijinan yang seharusnya selesai 4-5 hari, tapi selesai 2-3 minggu dan umumnya ada biaya ekstra atau tambahan ‘amplop’.

  1. Sangat birokratis

Umumnya pemberian pelayanan dengan melewati beberapa bagian/meja. Terkadang, setiap bagian/meja membutuhkan waktu yang cukup lama apalagi jika perangkat pendukung (computer/mesin ketik) sedang rusak atau orang yang mengoperasikannya sedang tidak ada. Banyaknya bagian yang harus dilewati menyebabkan penyelesaian pelayanan memerlukan waktu yang lama.

Buruknya kinerja birokrasi sebagai perpanjangan tangan penerapan kebijakan publik pemerintah justru menjadi faktor penghambat efektivitas dan efisiensi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah di lapangan. Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya dilakukan reformasi besar-besaran yang mencakup keseluruhan sistem birokrasi untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan.

2. Alternatif Solusi

  1. Rasionalisasi Pegawai dan Perampingan Struktur Organisasi

Rasionalisasi dilakukan tidak dengan memecat/merumahkan tetapi dengan tidak melakukan pengangkatan dalam jangka waktu tertentu. Ini dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah pegawai yang sangat banyak namun tidak efektif dalam bekerja.

Salah satu penyebab buruknya pelayanan publik adalah kompleksnya/besar struktur birokrasi publik. Struktur organisasi yang terlalu besar harus segera dirampingkan agar tidak terjadi pemborosan anggaran. Pembentukan struktur didasarkan pada fungsinya sehingga akan lebih efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

  1. Peningkatan Kemampuan SDM Aparatur di Daerah

Menurut Susanto dalam Tangkilisan (2005 :189), bahwa manusia adalah aset yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Pada birokrasi publik, bentuk perhatian yang dapat dilakukan antara lain :

    1. Memberikan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi.
    2. Memberikan kompensasi bagi pegawai yang berprestasi dengan promosi jabatan sehingga para pegawai terpacu untuk berprestasi
  1. Pembuatan Perda tentang Pelayanan Publik

Untuk menjamin agar ada transparansi dari pejabat public maka perlu dibuat peraturan daerah yang mengatur tentang berbagai macam pelayanan publik. Perda ini harus mampu merumuskan norma, standard dan praktek pelayanan yang harus dipenuhi oleh pejabat publik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa nilai, arah dan semangat yang ini diwujudkan dalam perda tersebut adalah sistem pelayanan dengan prosedur dan standar yang berorientasi pada masyarakat/warga.

  1. Pembentukan lembaga Ombudsman di Daerah

Lembaga ini perlu dibentuk di daerah guna memberdayakan kedudukan masyarakat di mata pejabat publik. Diharapkan dengan adanya lembaga ombudsman di daerah, kedudukan warga yang selama ini lemah bisa lebih kuat. Agar kedudukan lembaga ini benar-banar kuat dan mampu memperjuangkan nasib masyarakat, maka perekrutan anggotanya harus kredibel dan mampu. Anggotanya dapat dipilih dari kalangan perguruan tinggi, pemuka masyarakat dan LSM yang peduli terhadap upaya pebaikan kinerja pejabat publik. Pembentukan ombudsman hendaknya berdasarkan didukung oleh perda agar kedudukannya kuat dan kewenangannya juga jelas. Pembentukan lembaga ini khususnya di daerah sangat mendesak dan perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar