26 Januari 2009

B A B I

LATAR BELAKANG MASALAH KEBIJAKAN

1. Latar Belakang Masalah .

Sebagai ibu kota propinsi, Kota Padang merupakan pintu gerbang bagi daerah lainnya di lintas Sumatera. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah dan Rencana Tata Ruang Propinsi (RSTRP) Sumatera Barat pada tahun 2005, maka Kota Padang, termasuk salah satu wilayah pengembangan di Sumatera Barat. Untuk itu perlu memperlancar arus barang dan orang. Untuk mewujudkan hal tersebut maka sarana dan prasarana untuk menunjang semua kegiatan itu perlu disiapkan secara maksimal.

Salah satu faktor penting untuk menunjang program tersebut ialah tersedianya sarana transportasi beserta prasarana pendukungnya, seperti terminal yang memadai. Menurut data tahun 2000 Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Padang jumlah sarana transportasi umum yang ada adalah seperti pada tabel 1 dibawah ini :

Tabel : 1

Jumlah Armada Angkutan

No

A r m a d a

J u m l a h

1.

2.

3.

Bis Antar Propinsi

Bis Antar Kota Dalam Prop.

Angkutan Kota

363 buah

439 buah

1.657 buah

J u m l ah

2.459 buah

Sumber : DLLAJR Kodya Padang Tahun 2000

Untuk menampung berbagai jenis angkutan tersebut pada saat ini telah dimanfaatkan beberapa terminal dalam kota yaitu ; Terminal Lintas Andalas, Terminal Pasar Raya, Terminal Siteba, Terminal Bandar Buat dan Terminal Lubuk Buaya.

Terminal Lintas Andalas berfungsi sebagai terminal bus regional. Lokasi terminal dipusat kota (centre business district), dan berdekatan dengan terminal angkutan kota. Letak terminal yang saling berdekatan telah menyebabkan terjadinya pembauran modus transportasi regional yang menggunakan bus-bus ukuran besar dengan trasportasi lokal

yang menggunakan bus kota, mikrolet, taksi dan bahkan angkutan lambat seperti bendi dan becak barang telah memicu terjadinya kemacetan lalu lintas dan kesemrawutan setiap hari.

Disamping letaknya ditengah kota, kapasitas atau daya tampung terminal telah kurang memadai. Hal itu terlihat dari antrian bus-bus yang datang dan berangkat bergerak lambat sehingga kadang-kadang menaikan dan menurunkan penumpang di luar terminal. Hal ini dapat menimbulkan kemacetan dan kerawanan lalu lintas, akibat berkurangnya lebar efektif jalan-jalan utama, dan juga menjadi suasana kota jauh dari keindahan, kenyamanan bagi setiap pengunjung dan penduduk .

Situasi ini diperburuk dengan banyaknya rute angkutan kota yang terkonsentrasi menuju terminal Lintas Andalas. Kondisi terminal yang tidak memadai ini dapat memberikan dampak yang kurang baik terhadap arus barang dan orang, aktivitas perekonomian daerah, serta sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia.

Dari aspek sosial kondisi terminal yang semrawut ditengah kota membuat suasana menjadi sumpek dan macet. Hal ini jelas tidak dapat memberikan kenyamanan kepada penumpang atau pengguna jasa terminal. Padahal kehadiran terminal yang baik bagi calon penumpang adalah sangat dibutuhkan, terutama bagi mereka yang tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan angkutan umum. Kehadiran sebuah terminal tidak hanya sekedar tempat menaikan dan menurunkan penumpang tetapi juga harus mampu memberikan kenyamanan bagi setiap pengguna jasa terminal.

Dalam suasana yang semrawut dan serba tidak teratur itu sering terjadi perkelahian antar sesama awak bus dan bagi calon penumpang sering kesulitan mencari bus yang sesuai dengan jurusan yang ditujunya. Hal ini juga akibat karena tidak ada petunjuk yang jelas, bahkan suasana dan kondisi ini sangat rentan untuk terjadinya pencopetan dan pemaksaan terhadap calon penumpang maupun terhadap penumpang yang baru datang.

Seringnya terjadi kemacetan jalan-jalan sekitar terminal telah menghambat kelancaran arus orang maupun barang yang sering menambah besarnya biaya serta dapat mengurangi minat orang untuk menanamkan Investasi serta rendah minat wisatawan manca negara dan lokal untuk data ke Kota Padang.

Dari Segi lingkungan dalam suasana yang ramai dan daya tampung yang terbatas, persoalan Kebersihan dan Keindahan sering tidak terjamin. Kondisi terminal yang sempit banyak orang yang membuang sampah seenaknya. Tidak seimbangnya jumlah WC dengan pengunjung terminal membuat orang mencari WC alternatif disekeliling terminal, dan ini jelas membuat bau udara di sekitar terminal menjadi tidak sedap. Polusi udarapun akan menjadi tinggi akibat tidak menentunya jam keberangkatan bus sehingga tidak jarang diantara bus tersebut selalu menghidupkan mesinnya dalam keadaan parkir untuk menunggu jam keberangkatannya.

Kondisi lingkungan yang tidak sehat tentu akan mempengaruhi pula minat orang untuk menggunakan terminal sebagai titik simpul terjadinya intermoda yaitu perpindahan penumpang dan barang baik intra maupun antar moda yang terjadi akibat tuntutan efisiensi di dalam sistem transportasi.

Maka dengan kondisi terminal sekarang ini nampaknya sudah saatnya Pemerintah Kota Padang meninjau ulang kebijakan Terminal Lintas Andalas sebagai terminal regional antar kota antar propinsi dan antar kota dalam propinsi.

BIROKRASI

POTRET BIROKRASI INDONESIA DI DAERAH

1. Problem Birokrasi di Daerah

Semenjak masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan kinerja birokrasi dituduhkan oleh banyak pihak sebagai musabab keterpurukan bangsa ini. System kerja aparatur selama ini banyak dipengaruhi oleh model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Weber, Taylor, Wilson dan Urwick, yaitu (1) Struktur, (2) hierarki, (3) otoritas, (4) dikotomi kebijakan administrasi rantai pemerintah, (5) sentralisasi. (sinambela,dkk,2006:35)

Menurut Islamy (1998:7), ada pelbagai faktor penyebab birokrasi public mengalami organizational slack,antara lain: orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure), tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Dwiyanto,dkk (2006 :19) menyebutkan, bahwa pemerintah masih menjalankan praktek pemerintahan secara inefisien, belum berkeadilan dan tidak bersikap responsif terhadap kebutuhan masyarakat serta KKN masih berlangsung.

Celakanya lagi, pemerintah pusat selalu membuat ‘kejutan-kejutan’ yang bersifat controversial di masyarakat khususnya di Daerah. Misalnya, PP no.41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang intinya adalah ingin mengatur daerah tentang besaran perangkat daerah. Padahal, sebagaimana kita ketahui bahwa setiap daerah berbeda budaya, geografis, jumlah penduduk, dll.

Adanya desentralisasi menjadi sebuah harapan bagi masyarakat akan adanya perbaikan system birokrasi. Tapi pada kenyataannya, pemerintah daerah belum mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan masyarakat. Bahkan Beberapa masalah birokrasi (pelayanan public) yang menjadi kelemahan di daerah antara lain (Mohamad, 2003):

  1. Jumlah PNS terlalu banyak

Menurut Rohdewohld dalam Purbokusumo, dkk (2006 :30) di Indonesia terjadi lonjakan pegawai sangat luar biasa. Sebelum tahun 1950 jumlah pegawai hanya 50.000 orang, tahun 1950 jumlahnya 303.500 orang (naik 507%), thn 1960 jumlahnya 393.000 orang (naik 29%), tahun 1970 jumlahnya 515.000 orang (naik 31%), tahun 1980 jumlahnya 2.047.000 (naik 297,5%), tahun 1993 jumlahnya menjadi 4.009.000 (naik 95,8%).

Sebuah penelitian dilakukan di Daerah Sumatera Utara pada kebutuhan pegawai negeri menunjukkan bahwa kebutuhan riil pegawai (rata-rata) 20,55% dari 1.384 pegawai. Artinya, dari 1384 orang pegawai yang dimilikinya sekarang, untuk mengerjakan beban kerja yang ada dengan cara seperti sekarang, hanya diperlukan 282 pegawai (www.mediaindonesia.com).

  1. Struktur Organisasi/Unit teknis birokrasi yang terlalu besar alias gemuk

Lahirnya PP no.41/2007 diinterpretasikan oleh sebagian besar pemerintah daerah bahwa mereka bebas membentuk struktur organisasi (Badan,Dinas,kantor) sesuai yang mereka inginkan. Struktur yang besar sering mengakibatkan masyarakat harus mendatangi banyak kotak birokrasi yang masing-masing memiliki kompleksitas yang berbeda. Hal ini akan mendorong terjadinya KKN dalam pemberian pelayanan. Selain itu, tekanan politik dari anggota DPRD dan juga ke inginan Gubernur/Walikota/Bupati untuk membalas jasa pendukungnya dengan cara mendudukan orang-orang tersebut dalam posisi kepala dinas.

  1. Tidak professional dalam bekerja

Hal ini terjadi karena sistem penempatan pegawai tidak berdasarkan kemampuan yang dimiliki. penempatan tidak berdasarkan sistem merit tapi lebih kepada sistem patronase. Contah : Sarjana pertanian ditempatkan sebagai bendahara/pemegang kas.

  1. Kurang responsive terhadap kebutuhan masyarakat

Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa lebih dari 50% pengguna jasa pelayanan mengeluhkan layanan birokrasi berkenaan dengan pelayanan yang mereka terima (Dwiyanto, dkk:2006)

  1. Kurang koordinasi dan inaccessible

Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. selain itu, unit-unit pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat sehingga masyarakat kesulitan dalam memperoleh pelayanan serta sulitnya masyarakat dalam memperoleh akses informasi.

  1. Inefisien

Adanya ketidaksesuaian antara input pelayanan (biaya,waktu) dengan output pelayanan (kualitas) yang diberikan (Dwiyanto,dkk:2006:76). System Birokrasi yang inefisien masih ditemui di daerah. Akibatnya masyarakat dirugikan baik segi waktu maupun biaya. Pengurusan perijinan yang seharusnya selesai 4-5 hari, tapi selesai 2-3 minggu dan umumnya ada biaya ekstra atau tambahan ‘amplop’.

  1. Sangat birokratis

Umumnya pemberian pelayanan dengan melewati beberapa bagian/meja. Terkadang, setiap bagian/meja membutuhkan waktu yang cukup lama apalagi jika perangkat pendukung (computer/mesin ketik) sedang rusak atau orang yang mengoperasikannya sedang tidak ada. Banyaknya bagian yang harus dilewati menyebabkan penyelesaian pelayanan memerlukan waktu yang lama.

Buruknya kinerja birokrasi sebagai perpanjangan tangan penerapan kebijakan publik pemerintah justru menjadi faktor penghambat efektivitas dan efisiensi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah di lapangan. Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya dilakukan reformasi besar-besaran yang mencakup keseluruhan sistem birokrasi untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan.

2. Alternatif Solusi

  1. Rasionalisasi Pegawai dan Perampingan Struktur Organisasi

Rasionalisasi dilakukan tidak dengan memecat/merumahkan tetapi dengan tidak melakukan pengangkatan dalam jangka waktu tertentu. Ini dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah pegawai yang sangat banyak namun tidak efektif dalam bekerja.

Salah satu penyebab buruknya pelayanan publik adalah kompleksnya/besar struktur birokrasi publik. Struktur organisasi yang terlalu besar harus segera dirampingkan agar tidak terjadi pemborosan anggaran. Pembentukan struktur didasarkan pada fungsinya sehingga akan lebih efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

  1. Peningkatan Kemampuan SDM Aparatur di Daerah

Menurut Susanto dalam Tangkilisan (2005 :189), bahwa manusia adalah aset yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Pada birokrasi publik, bentuk perhatian yang dapat dilakukan antara lain :

    1. Memberikan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi.
    2. Memberikan kompensasi bagi pegawai yang berprestasi dengan promosi jabatan sehingga para pegawai terpacu untuk berprestasi
  1. Pembuatan Perda tentang Pelayanan Publik

Untuk menjamin agar ada transparansi dari pejabat public maka perlu dibuat peraturan daerah yang mengatur tentang berbagai macam pelayanan publik. Perda ini harus mampu merumuskan norma, standard dan praktek pelayanan yang harus dipenuhi oleh pejabat publik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa nilai, arah dan semangat yang ini diwujudkan dalam perda tersebut adalah sistem pelayanan dengan prosedur dan standar yang berorientasi pada masyarakat/warga.

  1. Pembentukan lembaga Ombudsman di Daerah

Lembaga ini perlu dibentuk di daerah guna memberdayakan kedudukan masyarakat di mata pejabat publik. Diharapkan dengan adanya lembaga ombudsman di daerah, kedudukan warga yang selama ini lemah bisa lebih kuat. Agar kedudukan lembaga ini benar-banar kuat dan mampu memperjuangkan nasib masyarakat, maka perekrutan anggotanya harus kredibel dan mampu. Anggotanya dapat dipilih dari kalangan perguruan tinggi, pemuka masyarakat dan LSM yang peduli terhadap upaya pebaikan kinerja pejabat publik. Pembentukan ombudsman hendaknya berdasarkan didukung oleh perda agar kedudukannya kuat dan kewenangannya juga jelas. Pembentukan lembaga ini khususnya di daerah sangat mendesak dan perlu.